MAKALAH
ILMU KALAM
ALIRAN-ALIRAN
SYI’AH
Makalah
ini disusun untuk melengkapi mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen
Pembimbing :
Ali
Shofwan, Drs, M.Pd.I
Disusun
Oleh :
Luluk
Zahirotusyarifah (213079)
Lusiana
(213080)
Luthfiah (213081)
FAKULTAS
TARBIYAH ( Pai )
PROGRAM
STUDI DAN PENDIDIKAN ISLAM TAHUN 2013
SEMESTER
II
UNIVERISITAS
NAHDLATUL ULAMA JEPARA
BAB
II
PEMBAHASAN
Golongan Syi’ah
A.
Pengertian Golongan Syi’ah
Syi’ah berarti pengikut, “pendukung”,”partai(faham)”, atau
“kelompok”. Sedangkan secara Terminologis/istilah itu dikaitkan sebagian kaum
Muslim baik spritual maupun agama yang merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW.
Menurut Ath-Thabathaba’i (1903-1981 M), istilah “syi’ah” untuk
pertama kalinya ditujukan pada pengikut Ali bin Abi Thalib (Syi’ah Ali). Partai
ini tumbuh dari timbulnya perselisihan paham dalam masalah Khalifah. Diantara
sahabat yang membela paham Ali, ialah Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari,
Jabir ibn Abdullah, Al-Miqad ibn Al-Aswad, Ubai ibn Ka’ab, Khuzaimah ibn Tsabit
dan semua Bani Hasyim.
Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul ke permukaan sejarah pada
masa akhir pemerintahan Utsman bin ‘Affan yaitu pada ketika berlangsungnya
peristiwa peperangan antara Ali dan Mu’awiyah (Perang Shiffin).
Menurut kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa Syi’ah muncul
berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak
kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin ‘Affan karena dalam
pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan Nabi dengan
alasan bahwa Ali bin Abi Thalib orang yang pertama diperintahkan Nabi Muhammad
SAW untuk menyampaikan dakwah kepada kerabatnya dan juga bukti adanya peristiwa
Ghadir Khumm.[1]
Akan tetapi orang-orang yang menganut paham ini tidak menampakkan
diri sebagai suatu partai tertentu hingga pemerintahan Utsman, yaitu diwaktu
Abdullah ibn Saba’ mengemukakan pahamnya, menjelek-jelekkan Utsman dan
memuji-muji Ali. Setelah Ali menjadi Khalifah dan rakyat mengakuinya, nyatalah
kepada mereka bahwa Ali adalah seorang yang besar, seorang yang berilmu,
seorang yang beragama kuat. Karenanya hati mereka bertambah terikat kepada Ali,
lalu mereka pun mengembangkan paham mereka dengan penuh kesungguhan dan
kemauan.
Syi’ah mendapatkan gambaran pengikut yang besar, terutama pada masa
Dinasti Amawiyah. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan
kasar dan kejam Dinasti ini terhadap ahl-bait. Di antara bentuk
kekerasan itu adalah yang dilakukan penguasa Bani Umayyah (Yazid bin
Mu’awiyah), misalnya pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibnu
Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin ‘Ali di Karbala.[2]
Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein bin ‘Ali di bawa ke hadapan
Yazid dan dengan tongkatnya Yazid memukul kepala cucu Nabi Muhammad SAW. yang
pada waktu kecilnya sering dicium Nabi.[3]
Kekejaman itu menyebabkan sebagain kaum Muslim tertarik dan mengikuti madzhab
Syi’ah, atau menaruh simpati mendalam terhadap tragedi yang menimpa ahl-bait.
B. Latar Belakang Perkembangan dan Munculnya Aliran Syi’ah
Syi’ah muncul karena adanya
perselisihan paham dalam masalah Khalifah dan juga adanya golongan yang lebih
mengutamakan ahl-bait, dan juga atas dasar kerabat dan orang yang pertama
kali berhak menggantikan Nabi Muhammad SAW. Adapun perkembangannya
memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-bait dihadapan Dinasti Amawiyah dan
Abasiyah, Syi’ah juga mengembangkan doktrin- doktrinnya. Yang berkaitan dengan
teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yaitu tauhid(kepercayaan
kepada keesaan Allah); nubuwah (kepercayaan kepada kenabian); ma’ad (kepercayaan
akan adanya hidup akhirat); imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah
yang merupakan hak ahl-bait); adl (keadilan Ilahi).
C.Partai-partai Syi’ah
Berdasarkan uraian yang di atas, golongan
Syi’ah terpecah menjadi dua:
Pertama, partai yang berdalil dengan nash-nash yang
nyata yang menunjukkan kepada ke-imamah-an (ke-khilafah-an) Ali.
Maka karenanya imamah dari Ali turun kepada yang ditunjuk Ali sendiri.
Maka mereka berpendapat bahwa mengetahui imam yang ditenetukan itu, adalah
suatu syarat yang menyempurnakan imam.
Kedua, golongan yang berpendapat bahwa tidak ada nash-nash
yang qathi yang menunjuk kepada imamah Ali sendiri. Yang ada
hanyalah dalil-dalil yang menunjukkan kepada sifat-sifat imam (Kepala Negara)
yang harus diangkat.
Kebanyakan pengikut golongan syi’ah ini
sepakat menetapkan bahwa imamah itu
hak Ali dan kedua puteranya Al-Hasan dan Al-Husain.[4]
Kemudian mereka pecah dua sesudah Al-Hasan
dan Al-Husain wafat.
a. Golongan yang tidak membatasi imamah
dalam kalangan putera-putera Ali dari Fatimah saja. Karenanya mereka
mengangkat Muhammad ibn Hanafiyah.
Golongan ini adalah golongan Kaisaniyah
pengikut-pengikut Kaisan Maula Ali.
Kemudian golongan Syi’ah ini pecah kepada
lima partai. Diantaranya ada yang berpendapat, bahwa imamah dengan jalan
wasiat berpindah dari Abu Hasyim kepada Ali ibn Abdullah ibn Abbas, kemudian
kepada puteranya Muhammad, kemudian kepada puteranya pula Abul Abbas as-Saffah,
pembangun Daulah Abbasiyah.
b. Golongan yang membatasi pada keturunan Al-Hasan dan Al-Husain saja.
Mengangkat sesudah Al-Hasan dan Husain, puteranya Abu Ja’far Muhammad al-Baqir,
kemudian mengangkat puteranya yaitu Ja’far ash-Shadiq.
D. Sekte-Sekte Syi’ah
Dalam perjalanan sejarah, aliran Syi’ah
terpecah menjadi beberapa sekte karena adanya perpecahan di kalangan Syi’ah
yang terpicu oleh masalah doktrin imamah,antara lain:
1. Syi’ah Itsna
Asyariah (Syi’ah Dua Belas/Syi’ah Imamiah)
Asal-usul dinamakan Syi’ah Imamiah karena yang menjadi dasar
akidahnya adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio-politik, yaitu
bahwa ‘Ali berhak menjadi khalifah bukan hanya kecakapannya atau kemuliaan
akhlaknya, tetapi ia telah ditunjukkan dan pantas menjadi khalifah pewaris
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Ide tentang hak ‘Ali dan keturunannya untuk
menduduki jabatan imam atau khalifah telah ada semenjak Nabi wafat, yaitu dalam
perbincangan politik di Saqifah Bani Sa’idah.[5]
Syi’ah Itsna
‘Asyariyah sepakat bahwa ‘Ali adalah penerima wasiat Nabi Muhammad SAW, seperti
yang ditunjukan nash Al-ausyia (penerima wasiat) setelah ‘Ali bin Abi
Thalib adalah keturunan dari garis Fatimah, yaitu Hasan bin ‘Ali dan Husein bin
‘Ali sebagaimana yang disepakati. Bagi Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, Al-Ausiya yang
dikultuskan setelah Husen adalah ‘Ali Zainal Abidin, kemudian secara
berturut-turut Muhammad Al-Baqir (w.115 H/733 M), Abdullah Ja’far Ash-Shadiq
(w.148 H/765 M), Musa Al-Khazim (w.183 H/799 M), ‘Ali Ar-Rida (w.183 H/799 M),
Muhammad Al-Jawwad (w.220 H/835 M), ‘Ali Al-Hadi (w.254 H/874 M), Hasan
Al-Askari dan terakhir adalah Muhammad Al-Mahdi sebagai imam kedua belas.
Karena pengikut sekte Syi’ah telah berbai’at di bawah imamah dua belas imam,
mereka dikenal dengan sebutan Syi’ah Itsna ‘Asyariah (Itsna ‘Asyariyah).
1.
Doktrin-doktrin Syi’ah Itsna ‘Asyariah
Di dalam sekte Syi’ah Itsna ‘Asyariah dikenal konsep Usul Ad-Din.
Konsep ini menjadi akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep Ushuluddin
mempunyai lima akar, yaitu sebagai berikut:
-
Tauhid (the devine Unity)
Tuhan adalah Esa, baik esensi maupun ekstensi-Nya. Keesaan Tuhan
adalah mutlak. Ia berinteraksi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah qadim.
Maksudnya, Tuhan berinteraksi sebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu
diciptakan oleh Tuhan. Tuhan Mahatahu, Maha Mendengar, selalu hidup, mengerti
semua bahasa, selalu benar, dan bebas berkehendak.
-
Keadilan (the devine justice)
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta merupakan keadilan. Ia tidak
pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidakadilan dan
kezaliman terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidakmampuan,
sementara Tuhan adalah Maha tahu dan Maha Kuasa.
-
Nubuwwah (apostleship)
Setiap makhluk di samping telah diberi insting, secara alami juga
masih membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul
merupakan petunjuk haiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus memberikan
acuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta.
-
Ma’ad (the last day)
Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk mengahadap pengadilan Tuhan
di akhirat, setiap muslim harus yakin keberadaan kiamat dan kehidupan suci
setelah dinyatakan bersih dan lurus dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode
transit dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.
-
Imamah (the devine guidance)
Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan
petunjuk manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada
keturunan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat mahdhah, Syi’ah Itsna
‘Asyariah berpijak pada delapan cabang agama yang disebut dengan furu’ ad-din.
Delapan cabang tersebut terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat, khumus atau
pajak sebesar seperlima dari penghasilan, jihad, al-amr bi al-amr bi al-ma’ruf,
dan an-nahyu’an al-munkar.
2.
Syi’ah Sab’iah (Syi’ah Tujuh)
Dinamakan Istilah Syi’ah Sab’iah “Syi’ah Tujuh”dinalogikan dengan
Syi’ah Itsna ‘Asyariah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah
yang ini hanya mengakui tujuh imam. Tujuh Imam itu adalah ‘Ali, Hasan, Husein,
‘Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, dan Ismail bin
Ja’far. Syi’ah Sabiah disebut juga Syi’ah Ismailiyah.
a.
Doktrin Imamah dalam pandangan Syi’ah Sabi’ah
Para pengikut Syi’ah Sabi’ah percaya bahwa Islam dibangun oleh
tujuh pilar, seperti dijelaskan Al-Qadhi An-Nu’man dalam Al-Islam. Tujuh pilar
tersebut adalah:
-
Iman
-
Taharah
-
Shalat
-
Zakat
-
Saum
-
Menunaikan haji
-
Jihad
Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan Syi’ah Sab’iah adalah
sebagai berikut:
a.
Imam harus dari keturunan ‘Ali melalui perkawinannya dengan Fatimah
yang kemudian dikenal dengan ahl-bait.
b.
Berbeda dengan aliran Kaisaniah, pengikut Mukhtar
Ats-Tsaqafi,mempropagandakan bahwa keimanan harus dari keturunan ‘Ali melalui
peernikahannya dengan seorang wanita dari Bani Hanifah dan mempunyai anak yang
bernama Muhammad bin Al-Hanafiyah.
c.
Imam harus beradasarkan penunjukan atau nash. Syi’ah Sab’iah
meyakini bahwa setelah Nabi wafat, ‘Ali
menjadi imam berdasarkan penunjukan khusus yang dilakukan Nabi sebelum wafat.
d.
Keimaman jatuh pada anak tertua. Syi’ah Sab’iah menggariskan bahwa
seorang imam memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah (heredity) dan
seharusnya merupakan anak paling tua.
e.
Imam harus maksum (immunity from sin an error). Sebagaimana
sekte Syi’ah lainnya, Syi’ah Sab’iah menggariskan bahwa seorang imam harus
terjaga dari salah satu dosa.
f.
Imam harus dijabat oleh seorang yang paling baik (best of men).
Dalam pandangan Syi’ah Sab’iah, perbuatan dan ucapan imam tidak boleh
bertentangan dengan syari’at.
Disamping
syarat-syarat di atas, Syi’ah Sab’iah berpendapat bahw aseorang imam harus
mempunyai pengetahuan (ilmu) dan pengetahuan walayah. Pengetahuan yang dimaksud
adalah: pertama,sorang imam harus mempunyai pengetahuan, baik ilmu lahir
maupun ilmu batin. Dengan ilmu tersebut,
seorang imam mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui orang biasa.Apa yang
salah dalam pandangan manusia biasa, tidak harus salah dalam pandangan imam. Kedua,seorang
imam harus mempunyai sifat walayah, yaitu kemampuan ilmu batin untuk menuntun
manusia ke dalam rahasia-rahasia Tuhan.
3.
Syi’ah Zaidiah
Sekte Syi’ah Zaidiah mengakui Zaid bin ‘Ali sebagai Imam V, putra
Imam IV, ‘Ali Zainal Abidin. Dari nama Zaid bin ‘Ali inilah nama Zaidiah
diambil. Syi’ah Zaidiah merupakan sekte Syi’ah yang moderat. Bahkan, Abu Zahrah
menyatakan bahwa Syi’ah Zaidiah
merupakan sekte yang paling dekat dengan Sunni.
a.
Doktrin Imamh menurut Syi’ah Zaidiah
Imamah sebagaimana telah disebutkan merupakan
doktrin fundamental dalam Syi’ah secara umum. Berbeda dengan
doktrin imamh yang dikembangkan Syi’ah lain. Menurut Syi’ah Zaidiah seorang
imam harus memiliki ciri-ciri berikut:
-
Pertama, merupakan keturunan ahl-bait, baik yang bergaris Hasan
maupun Husein. Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan
dan nash kepemimpinan.
-
Kedua, memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai uapaya
mempertahankan diri atau menyerang. Bagi mereka, pemimpin yang menegakkan
kebenaran dan keadilan adalah Mahdi.
-
Ketiga, kecenderungan intelektualisme yang dibuktikan dengan ide
dan karya dalam bidang keagamaan.
-
Keempat, mereka menolak kemaksuman imam. Dalam kaitan ini, mereka
mengembangkan doktrin imamat al-mafdhul. Artinya, seseorang dapat dipilih
menjadi imam meskipun mafdhul (bukan yang terbaik), sementara pada saat yang
sama ada yang afdhal.
4.
Syi’ah Ghulat
Istilah “Ghulat” berasal dari kata ghala-yaghulu-ghuluw, artinya
“bertambah” dan “naik”. Ghala bi ad-din artinya mmeperkuat dan menjadi ekstrem
sehingga melampaui batas. Syi’ah Ghulat berartikan kelompok pendukung ‘Ali yang
memiliki sikap berlebihan atau ekstrem (ghulat) adalah kelompok yang
menempatkan ‘Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat
kenabian, bahkan lebih tinggi dari Muhammaad.
Mengenai sekte-sekte Syi’ah Ghulat, para mutakallimin berbeda dalam
menetapkan jumlahnya. Syahrastani membagi sekte Ghulat menjadi 11 sekte;
Al-Ghurabi membaginya menjadi 13 sekte, dan Al-Asy’ari membagi menjadi 15
sekte. Sekte-sekte yang terkenal, antara lain Sahabiyah, Kamaliyah, Albaiyah,
Mughriyah, Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah, Yunusiyah,
dan Nasyisiah wa Ishaqiyah.
-
Doktrin-doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut Syahrastani ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrem,
yaitu tanasukh, bada’, raj’ah dan tasbih. Moojan Momen menambahkannya dengan
hulul dan ghayba.
a.
Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat
pada jasad yang lain. Paham ini diambil dari falsafah Hindu. Syi’ah Ghulat
menerapkan paham ini dalam konsep imamhnya, sehingga ada yang mengatakan
seperti Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far, bahwa roh Allah
berpindah kepada Adam kemudian kepada imam-imam secara turun-temurun.
b.
Bada’ adalah keyakinan bahw Allah mengubah kehendak-Nya sejalan
dengan perubahan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan perbuatan kemudian
memerintahkan yang sebaliknya. Syahrastani menjelaskan bahwa bada’ dalam
pandangan Syi’ah Ghulat mempunyai beberapa arti. Apabila berkaitan dengan ilmu,
artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah.
Apabila berkaitan dengan kehendak, artinya memperlihatkan yang benar dengan
menyalahi yang dikendaki dan hukum yang diterapkan-Nya.
c.
Raj’ah ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa
Imam Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Paham raj’ah dan mahdiyah
merupakan ajaran seluruh Syi’ah. Sebagaian menyatakan bahwa yang akan kembali
adalah ‘Ali, sedangkan sebagian lainnya menyatakan Ja’far Ash-Shadiq, Muhammad
bin Al-Hanafiah, bahkan ada yang mengatakan Mukhtar Ats-Tsaqafi.
d.
Tasbih artinya merupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan
salah seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
e.
Hulul artinya Tuhan berada di setiap tempat, berbicara dengan semua
bahasa dan ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti
Tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
f.
Ghayba artinya menghilangnya Imam Mahdi. Ghayba merupakan
kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi ada di dalam negeri ini dan tidak dapat
dilihat oleh mata biasa. Konsep Ghayba pertama kali di perkenalkan oleh Mukhtar
Ats-Tsaqafi tahun 66H/686M di Kufah ketika mempropagandakan Muhammad bin
Hnafiah sebagai Imam Mahdi.
E.Prinsip-prinsip Syi’ah
yang Berpautan dengan Imam (Kepala Negara)
Diantara prinsip-prinsip Syi’ah yang terkenal yang berpautan dengan
imamah dan khilafah, adalah Ishmah, Raj’ah, Mahdiyah dan Taqiyyah.[6]
-
Ishmah
Ialah Kepala
Negara yang tidak boleh mengerjakan sesuatu maksiat yang besar ataupun kecil dan mereka tidak boleh
berbuat sesuatu
kesalahan. Sedangkan pengertian imamah, adalah umat yang mendapatkan kesalah, maka dari itu diperlukan imam yang tidak ada salah . Kalau imam itu juga salah, tentulah tak ada yang
memelihara syari’at, dan tak dapat diberikan
kepercayaan kepada seseorang pemelihara syariah, terkecuali dia seorang ma’sum.”
Sedangkan Kepala Negara hanyalah pelaksana, bukan
pemelihara syari’ah. Maka cukuplah
seorang yang mujtahid yang adil, yang datang dari luar Islam. Pendirian yang seperti ini di
masa Nabi, Mungkin pendirian yang ditimbulkan oleh sebagian Syi’ah yang
berlebih-lebihan. Seperti halnya Imam-imam Syi’ah yang tidak ada. Mungkin dari merekalah datang
pembahasan dalam Ilmu Kalam mengenai ‘ishmah Nabi-nabi.
-
Raj’ah
Ialah Imam yang kembali muncul sesudah bersembunyi atau kembali hidup
sesudah mati. Ini adalah suatu fikrah yang ditimbulkan bangsa Yahudi. Di
antara yang menyebabkan timbulnya, ialah
riwayat Uzair yang Allah matikan selama 100 tahun, kemudian Allah bangkitkan lagi.
Kemudian fikrah itu dianut oleh golongan Nasrani. Orang Nasrani berkata:
“Penyaliban Al-Masih dan pembunuhannya hanya menimpai bagian tubuhnya yang nasuti
bukan bagian yang lahuti. Al-Masih hidup kembali sesudah 3 hari
beliau daisalib, lalu naik ke langit dan duduk di sebelah ayahnya. Dan
dia akan datang sekali lagi untuk menyelesaikan perkara antara orang-orang yang
telah meninggal dan yang masih hidup.”
Permulaan orang yang mengumandangkan paham ini, ialah
Abdullah ibn Saba’. Dia mengaku dalam propagandanya, bahwa Rasulullah akan
kembali hidup. Kemudian dia mengatakan pula bahwa Ali tidak terbunuh. Yang
terbunuh hanyalah syaitan yang menyerupakan dirinya dengan Ali. Ali telah
diangkat ke langit, sebagaimana Isa. Suara Gemuruh yang selalu kita dengar,
adalah suaranya, kilat adalah senyunya. Pengikut-pengikut Abdullah ibn Saba’
apabila mendengar suara guruh mengucapkan: “ wa’alaikas salamu ya Amirul
mu’minin.” Dan Ali akan kembali lagi ke bumi.
Ibnu Khaldun berkata: “Golongan ini sampai sekarang
menunggu-menunggu kedatangan Al-Mahdi. Mereka menyediakan kendaraan dan
berhenti di pintu lubang setiap selesai sembahyang maghrib, memanggil
namanya dan menyuruhnya keluar. Mereka berbuat demikian sehingga lagi berbuat
yang demikian pada hari esoknya.” Ada yang mengatakan bahwa imam-imam yang
terdahulu akan kembali bersama-sama musuh-musuhnya di zaman Al-Mahdi agar
masing-masing mendapat balasan di dunia, kemudian barulah mereka nanti akan
dibangkitkan kelak untuk dibuat perkiraan. Pemimpin Syi’ah yang terkenal menolak
dengan keras apa yang dianut oleh golongan Ghulah (yang berlebih-lebihan).
-
Mahdiyah
Ialah i’tikad yang mengatakan bahwa kelak akan lahir
seorang imam yang dinamakan Al-Mahdi yang akan mengembangkan keadilan dan
memusnahkan kezaliman. Imam pertama yang mereka gelarkan dengan Al-Mahdi, ialah
Muhammad ibn Hanafiyah. Mukhtar Ats Tsaqafi menyeru manusia mengakui ke-imamah-an
Muhammda dan menamaknnya Al-Mahdi. Boleh jadi nama ini mereka petik dari hadits
yang mereka riwayatkan:
...
وَاِنْ تَوَلوْ هَا عَلِياً ٬ وَمَا أَرَاكُمْ فَا عِلِيْنً تَجِدُوْنَهُ هَا
دِيًا مُهْتَدِ….
Artinya: “Dan jika mengangkat Ali menjadi khalifah, dan aku berpendapat
bahwa kamu tidak akan melakukannya, niscahya kamu mendapatinya seorang hadi=
orang-orang yang memberi petunjuk dan seorang mahdi = orang yang mendapat
petunjuk. Pengikut-pengikut Bani Umayyah juga ingin mempunyai imbangan
Al-Mahdi, maka mereka membuat suatu imbangan, yaitu Sufyani, dinisabahkan
kepada Abu Sufyan. Mereka ini membuat pula beberapa hadits yang berkaitan itu.
Hadits-hadits itu ditantang oleh golongan Syi’ah dengan membuat hadits-hadits
yang menerangkan bahwa Al-Mahdi akan membunuh Sufyan (saat dia keluar dari
persembunyiannya).
Golongan Abasyiah juga ingin mempunyai imbangan
Al-Mahdi. Mereka juga meriwayatkan beberapa hadits yang menerangkan bahwa Al-Mahdi
itu akan lahir dari kalangan mereka. Mungkin inilah yang meyebabkan Al-Mansur menamakan puteranya dengan
Al-Mahdi.
-
Taqiyyah
Ialah menampakkan sesuatu yang berlainan dengan apa
yang tersirat didalam dada untuk memelihara diri dari kezaliman, baik terhadap
jiwa maupun terhadap kehormatan. Paham ini dipandang salah satu sendi agama.
Untuk menguatkan pendapat ini mereka meriwayatkan beberapa hadits seperti:
لاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ تَقِيةَ لَهُ
Artinya:
“Tak ada agama bagi orang yang tidak mempunyai taqiyyah.”
Mereka mengatakan bahwa Ali tidak menentang Abu Bakar, Umar dan
Utsman, karena taqiyyah semata. Demikian juga sikap Al-Hasan terhadap
Mu’awiyah. Sedemikian pula Muhammad ibn Hanafiyah membai’atkan Abdul Malik Ibnu
Marwan. Maka segala apa yang mereka lakukan terhadap Ahlus Sunnah, seperti mau
bersembahyang bersama-sama, mau berpuasa bersama-sama, adalah semata-mata
taqiyyah. Karena segala perkataan mereka dibuat dalam dua arti:
Pertama, arti yang lahir, dipahami oleh semua manusia.
Kedua, arti yang batin yang hanya dipahami
oleh para Khaawas.
F. Fiqh Syi’ah
Golongan Syi’ah mempunyai aliran tertentu dalam bidang
ushul fiqh dan furu’nya. Dalam bidang ushul mereka menolak segala dasar yang
tidak sesuai dengan mazhab mereka. Karenanya dasar-dasar tasyri’ mereka hanya
tiga saja, yaitu Ulumul Kitab, yang ditafsirkan menurut tafsir mereka sendiri,
As-Sunnah yang diriwayatkan oleh geolongan Syi’ah sendiri dan pendapat imam
yang mereka anggap ma’sum.[7]
Mereka tidak menggunakan ijma’ dan qiyas, karena
mengambil ijma’ berarti mengambil paham pihak lain, sedang qiyas dianggap suatu
pendapat akal. Hukum harus diterima dari orang yang terpelihara dari kesalahan.
Di antara furu’ mereka, ialah membolehkan nikah mut’ah,
bahkan mereka memandang nikah mut’ah itu suatu ibadah, mereka
mengharamkan perkawinan dengan wanita kitabiyah. Mereka mendahulukan anak paman
sekandung atas paman seayah agar sesuai dengan pendirian mereka mendahulukan
Ali atas Abbas. Dalam mazhab mereka tidak ada aul (tambah bagian).
Mereka mendahulukan anak paman kerabat dekat atas nasabah. Apabila seseorang
meninggal dengan meninggalkan anak perempuan dan anak lelaki dari anak lelaki
(cucu lelaki), maka semua harta diberikan kepada anak perempuan karena dekatya
kepada yang meninggal. Mereka memeberikan kepada istri harta yang bergerak,
tidak harta yang tetap. Para Nabi menurut mereka dapat memberikan pusaka.
Karena itu dapatlah mereka mengatakan bahwa khalifah dapat dipusakakan. Dan
kaki waktu berwudlu disapu saja, bukan dibasuh. Dan perkataan hayya ‘ala
khairil amal = marilah kepada
sebaik-baik perjalanan, sesudah hayya ‘alal falah.
Kesimpulan
Ajaran Syi’ah amatlah banyak dan berbeda-beda sehingga kita harus
mencari dan mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, tokoh-tokoh, yang
berdampak besar dalam golongan ini. Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini.
Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini terdapat banyak bagian-bagian dan
perbedaan pendapat dalam bertauhid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa
sekte seperti Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan kaum Ghulat.
Hal ini menuntut kita untuk selalu berhati-hati serta
mengantisipasi adanya doktrin keras yang mungkin berkembang, atau bahkan telah begitu
pesat dalam penyebarluasan ajarannya ke negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia. Salah satunya adalah menyatakan
bahwa ‘Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak
untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum Muslimin. Bahkan yang lebih parah yang
memuja dan menganggap bahwa ‘Ali bin Abi Thalib bukan manusia biasa, melainkan
jelma tuhan melainkan jelma tuhan itu sendiri.
Oleh karena itu sebagian umat islam harus selalu cermat dan
berhati-hati dalam menyakini dan mempelajari suatu aliran syi’ah maupun aliran
pemikiran yang lain. Selain itu, jangan sampai terlalu fanatik, karena
fanatisme akan berdampak pada keburukan dan Allah tidak menyukai dengan sesuatu
yang berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad,Teungku.2009.Ilmu
Tauhid/Kalam.Semarang:PT PUSTAKA RIZKI PUTRA.
Rozak,H.Abdul.2012.Ilmu
Kalam.Bandung:CV PUSTAKA SETIA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar